Demokrasi Ala Gen-Z
Oleh : Maman Sudiaman (Komisioner KPU Kab. Kuningan Divisi Perencanaan, Data dan Informasi) Berbeda dengan generasi Y (lahir diusia 1981-1996), generasi Z lebih "dipaksa" menyaksikan perhelatan Demokrasi dengan segala dinamikanya. Misalnya diusia saya, dulu kabar demokrasi hanya ada di televisi, itupun di acara berita atau News. Dan tentu saja kebanyakan diusia remaja lebih memilih chanel lain. Namun kontras dengan hari ini, fyp diberbagai flatform medsos seakan memaksa kabar itu datang untuk ditonton. Bagi saya ini positif, bagaimana Gen-Z lebih leluasa memahami makna Demokrasi . Maka sekolah harus menangkap fenomena ini, gunakan Medsos sebagai alternatif pendidikan Demokrasi, dan Pancasila. Namun karena disisi lain medsos tidak memiliki batasan redaktur, sehingga tidak sedikit konten yang tidak visible, dan hanya menayangkan situasi politik praktis saja. Dan ini kurang sehat, jangan sampai kalangan pemula ikut arus pada tataran praktis. Jadi sekolah, harus pula memaksa, bagaimana cara agar mendorong medsos menjadi alternatif referensi. Misalnya materi kewarganegaraan, pengayaan makna Demokrasi, pemilu, budaya dsb. Paling tidak, setiap ada penekanan seperti itu dari setiap mata pelajaran, fyp medsos nya diwarnai dengan kebutuhan seusianya. ....
Webminar series Pengolahan, Analisa dan Visualisasi Data
#TemanPemilih, KPU Kabupaten Kuningan mengikuti Webminar series Pengolahan, Analisa dan Visualisasi Data pada di Aula KPU Kabupaten Kuningan, hari Jum'at (31/10/2025). Kegiatan ini merupakan undangan dari KPU RI kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota guna sebagai sarana berbagi pengetahuan, pengalaman dan praktik terbaik mengenai pemanfaatan teknologi digital dalam berbagai aspek kelembagaan baik yang berkenaan langsung dengan penyelenggaraan pemilu maupun kegiatan pendukung lainnya. Kegiatan tersebut diikuti oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Kuningan. . . #KPUMelayani ....
Webminar series Pengolahan, Analisa dan Visualisasi Data
#TemanPemilih, KPU Kabupaten Kuningan mengikuti Webminar series Pengolahan, Analisa dan Visualisasi Data pada di Aula KPU Kabupaten Kuningan, hari Jum'at (31/10/2025). Kegiatan ini merupakan undangan dari KPU RI kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota guna sebagai sarana berbagi pengetahuan, pengalaman dan praktik terbaik mengenai pemanfaatan teknologi digital dalam berbagai aspek kelembagaan baik yang berkenaan langsung dengan penyelenggaraan pemilu maupun kegiatan pendukung lainnya. Kegiatan tersebut diikuti oleh Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Kuningan. . . #KPUMelayani ....
Program Membahas Hukum (MH) Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) KPU Provinsi Jawa Barat seri #8
#TemanPemilih, KPU Kabupaten Kuningan telah mengikuti Kegiatan Program Membahas Hukum (MH) Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) KPU Provinsi Jawa Barat seri #8 via zoom meeting dengan KPU Kabupaten/Kota se Jawa Barat. Kegiatan tersebut diikuti oleh Kadiv Hukum Pengawasan Bapak Aan Nasrudin, Kasubbag Teknis dan Hukum Bapak Oban Sarbini dan Para Staf CPNS Sekretariat KPU Kabupaten Kuningan bertempat di Ruang Aula KPU Kabupaten Kuningan pada Hari Kamis, (30/10/2025). Kegiatan tersebut membahas Topik Pelaporan dan Pengecekan Media Sosial JDIH KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota se Jawa Barat Tahun 2025. . . #KPUMelayani ....
Ujian Kompetensi Jabatan Fungsional Penata Kelola Pemilihan Umum Ahli Pertama
#TemanPemilih, Sekretariat KPU Kabupaten Kuningan telah mengikuti Ujian Kompetensi Jabatan Fungsional Penata Kelola Pemilihan Umum Ahli Pertama sesuai dengan Surat Undangan Setjen KPU RI Nomor : 1700/SDM.09-Und/04/2025. Kegiatan ini bertujuan untuk pembinaan karir serta pemenuhan peta jabatan bagi Jabatan Fungsional Penata Kelola Pemilihan Umum di Lingkungan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Satker KPU Kabupaten Kuningan mengikutkan tiga (3) orang staf yaitu : Toto Saptori, Iwan Hermawan dan Rinawati untuk mengikuti ujian kompetensi tersebut pada Hari Kamis (30/10/2025). . . #KPUMelayani ....
Rapat Koordinasi Pengawasan Dalam Rangka Peningkatan dan Kinerja Pengawasan
#TemanPemilih, KPU Kabupaten Kuningan mengikuti Rapat Koordinasi Pengawasan Dalam Rangka Peningkatan dan Kinerja Pengawasan di Lingkungan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Barat secara daring, Hari Rabu (29/10/2025). Kegiatan ini menjadi wadah untuk memperkuat sinergi dan meningkatkan efektivitas pelaksanaan fungsi pengawasan dalam setiap tahapan dan divisi/bagian penyelenggaraan Pemilu. Dalam kesempatan ini KPU Provinsi Jawa Barat juga memberikan assistensi atas tindak lanjut temuan BPK, BPKP, dan APIP dari tahun 2006 hingga 2024, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk meningkatkan kepatuhan dan tata kelola keuangan yang baik di lingkungan KPU se-Jawa Barat. #KPUMelayani ....
Publikasi
Opini
Oleh : Maman Sudiaman (Komisioner KPU Kab. Kuningan Divisi Perencanaan, Data dan Informasi) Berbeda dengan generasi Y (lahir diusia 1981-1996), generasi Z lebih "dipaksa" menyaksikan perhelatan Demokrasi dengan segala dinamikanya. Misalnya diusia saya, dulu kabar demokrasi hanya ada di televisi, itupun di acara berita atau News. Dan tentu saja kebanyakan diusia remaja lebih memilih chanel lain. Namun kontras dengan hari ini, fyp diberbagai flatform medsos seakan memaksa kabar itu datang untuk ditonton. Bagi saya ini positif, bagaimana Gen-Z lebih leluasa memahami makna Demokrasi . Maka sekolah harus menangkap fenomena ini, gunakan Medsos sebagai alternatif pendidikan Demokrasi, dan Pancasila. Namun karena disisi lain medsos tidak memiliki batasan redaktur, sehingga tidak sedikit konten yang tidak visible, dan hanya menayangkan situasi politik praktis saja. Dan ini kurang sehat, jangan sampai kalangan pemula ikut arus pada tataran praktis. Jadi sekolah, harus pula memaksa, bagaimana cara agar mendorong medsos menjadi alternatif referensi. Misalnya materi kewarganegaraan, pengayaan makna Demokrasi, pemilu, budaya dsb. Paling tidak, setiap ada penekanan seperti itu dari setiap mata pelajaran, fyp medsos nya diwarnai dengan kebutuhan seusianya.
Oleh : Maman Sudiaman (Komisioner KPU Kabupaten Kuningan) Pemilu dengan jumlah pemilih lebih dari 200 juta dan hampir 2 juta pemilih diaspora, dan dilaksanakan serentak dalam sehari dengan waktu bersamaan, Indonesia patut menjadi contoh Pemilu di dunia. Berbagai dinamika sama tahapan, mulai dari kompetisi para peserta, kompetisi para relawan, konsolidasi pemangku kebijakan pusat hingga daerah, sampai andil masyarakat yang ikut secara langsung atau tidak dalam mengawal pemilu. Semangat Pemilu setiap masanya, harus menjadi semangat yang sama pada Pemilihan kepala desa serentak yang mulai dilaksanakan tahun 2027.
Oleh : Erik Hamdani, S.Sn., M.Si Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dari Perspektif Islam untuk Pemilih Pemula di Kabupaten Kuningan Bagian I: Pendahuluan - Suara Pemilih Pemula, Suara untuk Masa Depan Perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sebuah momentum krusial yang menentukan arah masa depan suatu bangsa dan wilayah. Dalam konteks Indonesia, khususnya di Kabupaten Kuningan, peran pemilih pemula kini menjadi penentu yang tidak dapat diabaikan. Berdasarkan data demografi, pemilih muda yang berusia 17 hingga 39 tahun diperkirakan mencapai hampir 60% dari total pemilih nasional, sebuah proporsi yang signifikan. Di Kabupaten Kuningan sendiri, porsi pemilih pemula, yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, mencapai sekitar 20% dari seluruh daftar pemilih. Angka ini mengukuhkan posisi mereka sebagai segmen kunci yang memiliki potensi besar untuk membentuk masa depan politik lokal. Pemilu, sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, memungkinkan warga negara untuk memilih pemimpin politik secara langsung, baik untuk lembaga legislatif maupun eksekutif. Namun, bagi pemilih pemula, proses ini seringkali dihadapi dengan berbagai tantangan. Riset menunjukkan bahwa pemilih pemula, yang umumnya berusia 17 hingga 21 tahun, memiliki jangkauan politik yang belum luas, sehingga membuat mereka rentan dipengaruhi oleh pendekatan materialis dan motivasi jangka pendek. Ketidakpahaman ini dapat memicu perilaku irasional dalam menentukan pilihan, bahkan hingga memilih secara acak atau berdasarkan paksaan. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan skeptisisme dan apatis terhadap politik yang membuat mereka cenderung golput (golongan putih), karena merasa hasil pemilihan tidak akan berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka. Kombinasi antara kerentanan dan sikap skeptis ini menciptakan sebuah ruang kosong yang berpotensi membahayakan integritas demokrasi. Apabila pemilih pemula tidak mendapatkan edukasi yang memadai, mereka berisiko menjadi korban praktik politik yang merusak, seperti politik uang, atau secara sukarela menihilkan hak pilih mereka. Laporan ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut dengan sebuah kerangka panduan yang komprehensif, berbasis pada nilai-nilai fundamental Islam, guna membekali pemilih pemula agar dapat menggunakan hak konstitusional mereka dengan cerdas dan penuh tanggung jawab. Bagian II: Kepemimpinan dan Pemilihan dalam Genggaman Amanah Ilahi 2.1. Kepemimpinan sebagai Amanah, Bukan Kekuasaan Dalam pandangan Islam, kepemimpinan adalah sebuah konsep yang memiliki bobot spiritual dan tanggung jawab yang sangat berat. Berbeda dengan pandangan yang menganggapnya sebagai sarana untuk meraih kekuasaan dan keuntungan pribadi, Islam memposisikan kepemimpinan sebagai sebuah amanah atau kepercayaan. Ini adalah sebuah kontrak psikologis antara seorang pemimpin dan mereka yang dipimpinnya, di mana pemimpin berjanji akan membimbing, melindungi, dan berlaku adil dengan sebaik-baiknya, Konsep ini tertuang jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis. Allah SWT secara tegas memerintahkan umat-Nya untuk menunaikan amanah kepada pihak yang berhak, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa ayat 58: "ِإَّن َََّّللَا َيَأْمُرُُكْم َأن ُتَؤُّدوا الْأَمَاَناِت ِإَلَأْهِلَهاَوِإَذاََحكُْمُت بَيَْن الَْناِسَأن َتَكُْكُموا بالْعَْدِل ِإَّن َََّّللَا ِنِّعَّماََيِعُكُْمِظِبِهِإَّن َََّّللَاَكَن َََِسمعًا بَِصرًا" Ayat tersebut tidak hanya menekankan pentingnya menunaikan amanah kepada yang berhak, tetapi juga menuntut penegakan keadilan dalam menetapkan hukum di antara manusia.8 Dalam konteks politik, amanah berarti seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Tanggung jawab kepemimpinan ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin formal, tetapi juga bagi setiap individu. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa setiap individu memikul amanah, mulai dari amanah terhadap diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat. Oleh karena itu, menggunakan hak pilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan perwujudan dari amanah kolektif untuk memilih pemimpin yang akan mengemban amanah yang lebih besar. 2.2. Kewajiban Memilih: Dari Tanggung Jawab Kolektif hingga Kewajiban Individu Dalam Islam, keberadaan pemimpin dianggap sebagai suatu keniscayaan. Para ulama berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai "perisai" (junnah) yang melindungi umat, mencegah kezaliman, menegakkan hukum Allah, dan menyejahterakan rakyat.9 Tanpa kepemimpinan yang adil, bumi akan diliputi kerusakan (fasad), sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Baqarah: 251. Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan hanya hak, melainkan sebuah kewajiban. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, telah menetapkan fatwa yang memperkuat pandangan ini. Dalam Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III, disebutkan bahwa memilih pemimpin yang beriman, bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aspiratif (tabligh), dan kompeten (fathanah) hukumnya adalah wajib. Sebaliknya, sengaja tidak menggunakan hak pilih (golput) padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. Fatwa ini tidak muncul tanpa alasan yang kuat. Logika di baliknya didasarkan pada prinsip menghindari kerusakan yang lebih besar (mafsadah). Sikap golput atau tidak memilih akan merugikan umat secara keseluruhan. Jika orang-orang yang peduli dan berintegritas tidak menggunakan hak pilih mereka, maka mereka secara tidak langsung membiarkan pihak lain, yang mungkin tidak kompeten atau bahkan zalim, untuk berkuasa. Kepemimpinan yang tidak adil akan membawa kerusakan yang jauh lebih masif bagi masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, fatwa ini berfungsi sebagai landasan teologis untuk mendorong partisipasi aktif umat Islam dalam politik. Meskipun demikian, terdapat pula pandangan yang mempertanyakan fatwa ini, terutama jika kandidat yang tersedia dianggap tidak ada yang ideal. Kritik ini seringkali didasarkan pada realitas politik di mana janji-janji sering diabaikan dan pemimpin dianggap munafik. Dalam menghadapi dilema ini, Islam menawarkan prinsip Akhaf Ad-Dhararain (memilih kemudaratan yang paling ringan). Apabila semua calon memiliki kekurangan, kewajiban seorang pemilih adalah menimbang dengan cermat dan memilih kandidat yang memiliki potensi kerusakan paling kecil, atau yang memiliki visi dan program kerja paling mendekati nilai-nilai kebaikan. Bagian III: Menilai Pemimpin Berbasis Nilai Islam & Tantangan Pemilih Pemula 3.1. Empat Pilar Utama Memilih Pemimpin: Adaptasi Sifat Kenabian Bagi pemilih pemula, tantangan utama adalah menerjemahkan kriteria pemimpin ideal dalam Islam menjadi indikator praktis yang dapat dinilai. Panduan yang paling komprehensif dapat diturunkan dari empat sifat utama Rasulullah SAW, yaitu Siddiq (jujur dan benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan kebenaran), dan Fathanah (cerdas dan bijaksana). Berikut adalah cara praktis untuk menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam realitas Pilkada: Siddiq (Jujur): Kejujuran seorang calon dapat dinilai dari konsistensi antara ucapan dan perbuatan mereka. Pemilih dapat menelusuri rekam jejak mereka, apakah mereka pernah terjerat kasus korupsi, atau apakah janji-janji yang mereka sampaikan realistis dan bukan sekadar slogan kosong. Amanah (Dapat Dipercaya): Amanah adalah pondasi integritas. Seorang pemimpin yang amanah akan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemilih dapat menilai amanah seorang calon dari sikapnya yang tidak terlalu ambisius terhadap jabatan. Rasulullah SAW bahkan bersabda bahwa jabatan tidak akan diberikan kepada mereka yang memintanya secara berlebihan. Tabligh (Komunikatif/Transparan): Sifat ini menekankan kemampuan pemimpin untuk berkomunikasi secara jujur dan transparan. Pemilih dapat menilai bagaimana calon menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya. Apakah mereka mampu menjelaskan ide-ide mereka dengan jelas, ataukah hanya menggunakan retorika manipulatif? Musyawarah (syura) juga merupakan bagian dari tabligh, menunjukkan kesediaan calon untuk mendengarkan masukan dari masyarakat. Fathanah (Cerdas/Kompeten): Kecerdasan dan kompetensi seorang calon dapat dinilai dari kejelasan visi, misi, dan program kerja yang mereka tawarkan. Pemilih cerdas akan mencari tahu apakah program-program tersebut menawarkan solusi konkret dan terukur untuk permasalahan yang ada di Kabupaten Kuningan, bukan sekadar janji-janji tanpa dasar. Tabel berikut menyajikan matriks penilaian yang dapat digunakan oleh pemilih pemula: Tabel 1: Matriks Penilaian Pemimpin: Dari Sifat Kenabian ke Realitas Politik Sifat Kenabian Konsep Islam yang Relevan Indikator Praktis Cara Menilai (untuk Pemilih Pemula) Siddiq Kejujuran, Kebenaran Rekam jejak yang bersih, konsistensi ucapan dan tindakan, janji yang realistis. Cari berita kredibel tentang riwayat calon. Perhatikan apakah janji-janji mereka sesuai dengan fakta di lapangan. Amanah Kepercayaan, Tanggung Jawab Integritas pribadi, komitmen pada kepentingan publik, tidak ambisius. Amati sikap calon, apakah mereka terlalu mengejar kekuasaan. Lihat apakah mereka pernah terjerat kasus korupsi. Tabligh Transparansi, Komunikatif Visi-misi yang jelas, kemampuan berdialog, kesediaan bermusyawarah. Tonton video kampanye dan debat. Apakah mereka menjawab pertanyaan dengan lugas dan transparan? Fathanah Kecerdasan, Kompetensi Program kerja yang solutif, rasional, dan terukur. Bandingkan program kerja setiap calon. Apakah program mereka benar-benar menjawab masalah di Kuningan? 3.2. Menolak Godaan: Politik Uang dan Golput Pemilih pemula sangat rentan terhadap godaan politik uang (money politics), sebuah praktik yang merusak dan dilarang keras dalam Islam. Para ulama secara tegas menyatakan bahwa praktik politik uang adalah haram, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kejujuran, amanah, dan keadilan. Dampak dari politik uang adalah sebuah rantai kerusakan yang dimulai dari tingkat individu. Apabila pemilih menerima uang atau hadiah, mereka telah mengkhianati amanah yang diberikan kepada mereka. Praktik ini merusak integritas Pemilu, menghasilkan pemimpin yang tidak terpilih berdasarkan kompetensi, melainkan karena kemampuan finansialnya. Pemimpin yang berkuasa melalui jalan tidak halal cenderung akan menyalahgunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, yang pada akhirnya akan merugikan seluruh rakyat. Tindakan korupsi dan kezaliman yang diakibatkan oleh politik uang jauh lebih besar daripada nilai uang yang diterima oleh pemilih. Selain politik uang, fenomena golput juga menjadi tantangan serius. Meskipun undang-undang memberikan kebebasan bagi rakyat untuk tidak memilih, dalam perspektif Islam, golput adalah tindakan yang diharamkan selama masih ada calon yang layak. Sikap apatis dan tidak peduli terhadap urusan politik, yang seringkali menjadi alasan golput, dianggap sebagai sebuah kemudaratan. Dengan tidak memilih, pemilih secara tidak langsung melepaskan kendali atas masa depan mereka sendiri dan menyerahkannya kepada orang lain. Bagian IV: Langkah Nyata di Kabupaten Kuningan: Menggerakkan Pemilih Pemula 4.1. Peran Sentral KPU Kuningan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kuningan memiliki peran vital tidak hanya sebagai penyelenggara teknis Pemilu, tetapi juga sebagai agen pendidikan politik. Upaya yang telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada pelajar SMA/SMK dan mahasiswa di Universitas Islam Al-Ihya (UNISA) Kuningan, adalah langkah-langkah konkret dalam meningkatkan literasi demokrasi. Dalam konteks pandangan Islam, upaya KPU untuk mengedukasi masyarakat, mendorong partisipasi, dan menciptakan pemilih yang cerdas dapat dipandang sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). KPU tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai lembaga negara, tetapi juga secara tidak langsung sedang menunaikan fungsi tabligh (menyampaikan kebenaran) dengan mengajak masyarakat untuk memilih pemimpin yang adil dan berintegritas. 4.2. Panduan Praktis untuk Pemilih Cerdas Untuk menunaikan amanah dengan baik, pemilih pemula di Kabupaten Kuningan dapat mengikuti panduan praktis berikut: Pahami Amanah Diri: Sadari bahwa hak pilih adalah amanah dari Allah SWT. Ini bukan sekadar hak sipil, tetapi juga tanggung jawab spiritual yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Kenali Isu Lokal: Pelajari permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Kuningan. Apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat? Pahami masalah-masalah ini untuk dapat menilai calon yang menawarkan program paling solutif. Lakukan Riset Kredibel: Jangan hanya mengandalkan informasi dari media sosial atau sebaran kampanye. Gunakan internet secara bijak untuk mencari rekam jejak, visi, dan misi calon dari sumber-sumber yang kredibel. Pahami isi dari program kerja mereka, bukan hanya popularitasnya. Tolak Politik Uang: Sadari bahwa menerima uang atau hadiah dari calon adalah tindakan haram yang merusak. Tolaklah dengan tegas karena dampak jangka panjangnya akan jauh lebih besar dan merugikan seluruh masyarakat. Gunakan Hak Pilih dengan Cerdas: Pada hari pencoblosan, datanglah ke TPS dengan niat menunaikan amanah. Gunakan hak pilih berdasarkan pertimbangan yang matang, akal sehat, dan hati nurani yang sesuai dengan kriteria pemimpin ideal dalam Islam. Penutup: Pemilu adalah Ibadah, Memilih adalah Pilihan Mulia Laporan ini menyimpulkan bahwa Pemilu, dari perspektif Islam, bukanlah sekadar ritual politik, melainkan sebuah manifestasi dari amanah kolektif yang diemban oleh seluruh rakyat. Pemilih pemula, dengan jumlah yang masif dan peran strategisnya, memiliki tanggung jawab besar untuk tidak menyia-nyiakan hak pilih mereka. Golput dan politik uang adalah tindakan yang secara teologis dilarang karena berpotensi mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Dengan memilih pemimpin yang memiliki sifat-sifat utama seperti siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah, pemilih pemula tidak hanya berpartisipasi dalam proses demokrasi, tetapi juga menunaikan sebuah ibadah. Memilih pemimpin yang adil, kompeten, dan berintegritas adalah cara untuk berkontribusi secara nyata dalam membangun masyarakat yang lebih baik, sebagaimana yang diperintahkan oleh ajaran Islam. Pilihan yang bijaksana adalah investasi untuk masa depan Kuningan yang makmur dan adil. Mari jadikan hari pemilihan sebagai momentum untuk menunaikan amanah terbesar di hadapan Allah SWT. Pilihan Anda adalah pertanggungjawaban Anda. Gunakanlah dengan penuh kesadaran dan keimanan.
Demokrasi Digital: Edisi Khusus Pemilu Hijau, Berkelanjutan, dan Inklusivitas di Indonesia Oleh : Erik Hamdani, S.Sn., M.Si Pusat Kajian Tata Kelola Digital dan Demokrasi Berkelanjutan Abstrak Laporan ini mengkaji trilema yang dihadapi demokrasi elektoral modern di Indonesia: tuntutan untuk menyelenggarakan pemilu yang ramah lingkungan (Hijau), adil bagi semua kelompok masyarakat (Inklusif), dan efisien secara teknologi (Transformasi Digital). Dengan menggunakan kerangka kerja "Co-Transformation" (Transformasi Bersama), laporan ini menganalisis bagaimana digitalisasi, yang sering dipandang sebagai solusi efisiensi, justru menciptakan tegangan nilai (value tensions) yang kompleks antara dimensi lingkungan, sosial, teknologi, dan ekonomi. Melalui analisis yuridis, evaluasi implementasi teknologi pemilu seperti Sistem Informasi Rekapitulasi (SIREKAP), dan studi kasus kuantitatif internasional, laporan ini memetakan tantangan dan peluang yang ada. Hasilnya menunjukkan bahwa pendekatan Indonesia yang terfragmentasi dan berfokus pada teknologi telah mengikis kepercayaan publik dan memperburuk kesenjangan inklusivitas. Sebagai kesimpulan, laporan ini merekomendasikan adopsi strategi Co-Transformation yang terintegrasi sebagai peta jalan nasional untuk mewujudkan pemilu yang benar-benar berkelanjutan, inklusif, dan berintegritas di masa depan. Pendahuluan: Menavigasi Trilema Demokrasi Modern Indonesia Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024 di Indonesia menjadi sebuah momen krusial yang tidak hanya menandai transisi kekuasaan secara demokratis, tetapi juga secara gamblang memperlihatkan persimpangan jalan yang kompleks antara ambisi modernisasi, tantangan keadilan sosial, dan kesadaran ekologis yang mulai mengemuka. Pemilu yang melibatkan lebih dari 192 juta pemilih ini berfungsi sebagai laboratorium hidup yang menguji kapasitas negara dalam menavigasi trilema fundamental yang dihadapi oleh demokrasi elektoral di abad ke-21. Trilema ini tersusun dari tiga pilar yang saling terkait namun seringkali bertentangan: mewujudkan Pemilu Hijau, memastikan Pemilu Inklusif, dan mengakselerasi Transformasi Digital. Pilar pertama, Pemilu Hijau, merepresentasikan sebuah paradigma baru yang menuntut penyelenggaraan pemilu dengan jejak ekologis seminimal mungkin. Konsep ini mencakup upaya sistematis untuk mengurangi dampak lingkungan dari seluruh siklus pemilu, mulai dari pengurangan masif penggunaan kertas untuk surat suara dan materi kampanye, minimalisasi emisi karbon yang berasal dari distribusi logistik dan mobilisasi massa, hingga pengelolaan limbah padat yang dihasilkan dari alat peraga kampanye. Pilar kedua, Pemilu Inklusif, adalah amanat konstitusional yang berakar pada prinsip hak asasi manusia universal. Pilar ini menuntut jaminan partisipasi yang penuh, setara, dan bermartabat bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, dengan perhatian khusus pada kelompok-kelompok rentan yang secara historis dan struktural sering terpinggirkan, seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, lansia, dan kelompok marjinal lainnya. Pilar ketiga, Transformasi Digital, adalah manifestasi dari upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memodernisasi tata kelola pemilu melalui adopsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, efektivitas, dan akuntabilitas proses elektoral, dari pendaftaran pemilih hingga rekapitulasi suara. Di persimpangan ketiga pilar inilah letak tantangan utamanya. Transformasi digital seringkali diposisikan sebagai solusi tunggal yang dapat menjawab tuntutan efisiensi, inklusivitas, dan bahkan keberlanjutan secara bersamaan. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Untuk menganalisis dinamika ini secara mendalam, laporan ini mengadopsi Co-Transformation (Transformasi Bersama) sebagai kerangka analitis sentral. Co-Transformation adalah sebuah pendekatan strategis yang menolak untuk melihat transformasi digital dan transformasi keberlanjutan (yang mencakup aspek lingkungan dan sosial) sebagai dua agenda terpisah. Sebaliknya, pendekatan ini mengintegrasikannya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, di mana keberlanjutan tidak dilihat sebagai efek samping, melainkan sebagai tujuan utama dari setiap inisiatif digital. Dengan menggunakan kerangka kerja Co-Transformation, laporan ini akan membedah mengapa pendekatan digitalisasi pemilu di Indonesia, yang selama ini cenderung terfragmentasi dan lebih memprioritaskan dimensi efisiensi (nilai ekonomi dan teknologi), justru telah menimbulkan "tegangan nilai" (value tensions) yang signifikan. Tegangan ini termanifestasi dalam bentuk terkikisnya kepercayaan publik, terciptanya bentuk-bentuk eksklusi baru, dan kegagalan dalam mencapai tujuan keberlanjutan yang sejati. Laporan ini akan mengurai trilema tersebut melalui analisis yuridis, evaluasi implementasi teknologi, dan studi kasus komparatif untuk merumuskan sebuah visi baru bagi demokrasi Indonesia yang lebih tangguh, adil, dan bertanggung jawab. Bagian 1: Paradigma Pemilu Inklusif di Era Digital: Antara Jaminan Konstitusional dan Realitas Kesenjangan 1.1. Landasan Yuridis dan Filosofis Inklusivitas Pemilu di Indonesia Secara normatif, komitmen Indonesia terhadap penyelenggaraan pemilu yang inklusif memiliki fondasi hukum yang sangat kokoh dan berlapis. Prinsip ini tidak hanya diadopsi dari norma-norma internasional, tetapi juga tertanam kuat dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan nasional. Landasan filosofis utamanya bersumber dari doktrin hak asasi manusia (HAM) yang bersifat universal, yang menegaskan bahwa hak pilih adalah hak fundamental setiap warga negara yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) dalam kondisi apapun. Semua individu memiliki hak yang setara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tanpa memandang kondisi fisik, mental, sosial, maupun ekonomi. Komitmen ini secara eksplisit diartikulasikan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Pasal 27 ayat (1) menjamin kesetaraan kedudukan setiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, yang secara inheren mencakup kesetaraan dalam hak politik. Rangkaian pasal dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 28A hingga 28J, memberikan perlindungan yang lebih komprehensif terhadap hak-hak dasar, termasuk jaminan bagi penyandang disabilitas untuk dapat hidup dan bertindak secara mandiri. Lebih lanjut, Pasal 28H ayat (2) mengamanatkan bahwa "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan," yang menjadi dasar bagi penyediaan akomodasi yang layak bagi kelompok rentan. Penguatan komitmen ini dilanjutkan dalam berbagai produk hukum turunan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, melalui Pasal 42, secara spesifik mengatur hak penyandang disabilitas dan lansia untuk memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus yang dibiayai negara, yang dapat diinterpretasikan sebagai kewajiban negara untuk memfasilitasi partisipasi politik mereka. Titik kulminasi dari jaminan hukum ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 13 UU ini secara tegas dan rinci menjabarkan hak-hak politik penyandang disabilitas, yang meliputi hak untuk memilih dan dipilih, menyalurkan aspirasi politik, menjadi peserta pemilu, menjadi anggota partai politik, serta hak untuk memperoleh aksesibilitas dalam setiap tahapan pemilu. Jaminan ini dipertegas kembali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di mana Pasal 5 menyatakan bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemilih, calon, maupun penyelenggara pemilu. Secara keseluruhan, analisis de jure menunjukkan bahwa kerangka hukum di Indonesia tidak hanya mengakui, tetapi juga secara aktif mengamanatkan perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap hak politik kelompok rentan. Pemerintah, melalui penyelenggara pemilu seperti KPU, memiliki kewajiban konstitusional untuk menciptakan sebuah sistem elektoral yang adil dan dapat diakses oleh semua warga negara. 1.2. Analisis Hambatan Struktural dan Kultural bagi Kelompok Rentan Meskipun memiliki landasan hukum yang kuat, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang yang lebar antara jaminan normatif dan implementasi praktis. Kinerja penyelenggara pemilu dalam mewujudkan inklusivitas dinilai belum maksimal, sebagaimana terbukti dari berbagai permasalahan yang masih ditemukan pada Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu berikutnya. Hambatan ini bersifat multidimensional, mencakup aspek struktural, teknis, hingga kultural yang berdampak pada berbagai kelompok rentan. Bagi penyandang disabilitas, hambatan yang dihadapi sangat beragam dan sistemik. Salah satu masalah utama adalah keterbatasan akses terhadap informasi pemilu. Sosialisasi yang dilakukan seringkali tidak dirancang untuk menjangkau berbagai ragam disabilitas; misalnya, materi kampanye jarang tersedia dalam format yang aksesibel seperti audio atau video dengan juru bahasa isyarat untuk penyandang tunarungu, atau dalam format cetak besar dan Braille untuk penyandang tunanetra. Keterbatasan instrumen teknis juga menjadi kendala serius. Selama ini, regulasi pemilu seringkali memaknai aksesibilitas secara sempit, yaitu sebatas penyediaan template surat suara Braille untuk penyandang tunanetra, padahal ragam disabilitas sangat luas dan masing-masing memiliki kebutuhan yang berbeda. Selain itu, banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang secara fisik tidak aksesibel, misalnya tidak memiliki jalur landai untuk pengguna kursi roda, atau bilik suara yang terlalu sempit dan tinggi. Hambatan ini diperparah oleh persepsi masyarakat dan bahkan sebagian petugas yang masih memandang rendah martabat dan kapasitas penyandang disabilitas sebagai pemilih, yang pada akhirnya menyebabkan banyak dari mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya secara mandiri dan bermartabat, sehingga menambah angka golongan putih (golput). Definisi "kelompok rentan" dalam konteks pemilu inklusif tidak boleh digeneralisasikan hanya pada penyandang disabilitas. Kelompok rentan lainnya, seperti masyarakat adat, menghadapi tantangan yang unik dan kompleks. Studi kasus pada komunitas Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu di Indramayu mengilustrasikan perpaduan antara hambatan kultural dan administratif. Secara kultural, sebagian anggota komunitas menganut ajaran "ngaji rasa" yang diinterpretasikan sebagai larangan untuk memilih salah satu kontestan politik demi menghindari perpecahan dan menyakiti pihak lain. Namun, yang lebih fundamental adalah hambatan administratif. Banyak anggota masyarakat adat mengalami kesulitan dalam memperoleh Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el), yang merupakan syarat mutlak untuk dapat memilih. Kesulitan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tempat tinggal yang berpindah-pindah, keyakinan yang tidak terakomodasi dalam kolom agama di KTP, atau prosedur birokrasi yang tidak sensitif terhadap identitas budaya mereka. Ketiadaan KTP-el ini secara efektif menghilangkan hak konstitusional mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu. Kelompok rentan situasional, seperti pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit, juga seringkali terabaikan. Sebuah studi menunjukkan bahwa pelayanan pemungutan suara di rumah sakit hanya mampu menjangkau sekitar 41% dari total potensi pemilih. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya penyebaran informasi mengenai tata cara pemungutan suara bagi pasien dan tidak adanya mekanisme yang fleksibel seperti TPS keliling ( Mobile Voting Station) yang dapat menjangkau pemilih di lokasi mereka berada. Kegagalan-kegagalan ini secara kolektif menunjukkan bahwa masalah inklusivitas dalam pemilu Indonesia bersifat sistemik dan berakar pada kegagalan dalam menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi semua warga negara. 1.3. Transformasi Digital sebagai Pedang Bermata Dua bagi Inklusivitas Di tengah berbagai tantangan inklusivitas konvensional, transformasi digital hadir menawarkan janji sebagai solusi. Jika dirancang dengan perspektif yang benar, teknologi memang memiliki potensi besar untuk menjadi alat inklusi yang kuat. Contoh konkret dari potensi ini adalah pengembangan platform pembelajaran digital seperti DIGI-EDVOT (Digital Learning for Disabled Young Voters). Platform ini dirancang secara spesifik untuk mengatasi hambatan informasi yang dihadapi oleh pemilih disabilitas muda dengan menyediakan materi literasi politik dalam berbagai format—teks, audio, dan video—sehingga pengguna dapat memilih mode pembelajaran yang paling sesuai dengan kebutuhannya. Inisiatif seperti ini merupakan perwujudan nyata dari konsep "akomodasi yang layak" dalam ranah digital, yang berpotensi menjangkau pemilih disabilitas yang selama ini terisolasi dari proses sosialisasi konvensional. Namun, potensi positif ini harus dihadapkan pada realitas kesenjangan digital yang menganga di Indonesia, yang mengubah transformasi digital menjadi pedang bermata dua. Mengadopsi solusi digital tanpa mengatasi kesenjangan ini secara fundamental justru berisiko menciptakan bentuk eksklusi baru yang lebih berbahaya: peminggiran digital (digital disenfranchisement). Risiko ini berakar pada dua jenis kesenjangan utama. Pertama, kesenjangan akses. Meskipun data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan tingkat penetrasi internet nasional pada tahun 2024 mencapai 79,5% , angka ini secara implisit berarti lebih dari 56 juta penduduk Indonesia masih berada di luar jangkauan internet. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa meskipun 97,29% rumah tangga yang mengakses internet melakukannya dari rumah, masih ada ketergantungan yang signifikan pada akses di luar rumah seperti tempat umum (57,99%) atau kantor (51,38%), yang mengindikasikan bahwa akses internet pribadi yang stabil dan terjangkau belum merata. Kedua, kesenjangan literasi dan keterampilan. Data ini bahkan lebih mengkhawatirkan. Laporan Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2024 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan skor nasional yang masih berada di level "sedang", yaitu hanya 43,34 dari skala 100. Pilar "Pemberdayaan", yang mengukur kemampuan masyarakat memanfaatkan teknologi untuk aktivitas produktif dan pemberdayaan diri, mencatatkan skor terendah, yakni 25,66. Ini menandakan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia masih berada pada level pengguna pasif, belum optimal dalam memanfaatkan teknologi untuk partisipasi yang bermakna. Lebih lanjut, laporan Status Literasi Digital 2023 menunjukkan bahwa skor pada pilar Digital Skills (kecakapan digital) justru mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Kegagalan pemilu inklusif di Indonesia, oleh karena itu, bukanlah sekadar masalah teknis atau logistik, melainkan sebuah masalah paradigmatik. Kegagalan dalam memastikan inklusivitas di ranah fisik, seperti menyediakan jalur landai di TPS, menunjukkan bahwa akar masalahnya bukan pada ketiadaan aturan, melainkan pada ketiadaan "perspektif keterbukaan yang empatik" dari para penyelenggara pemilu. Ketika transformasi digital diperkenalkan ke dalam fondasi yang sudah rapuh ini dengan paradigma "efisiensi di atas segalanya", ia tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, ia hanya akan memindahkan titik eksklusi dari ranah fisik yang terlihat (seperti tangga di TPS) ke ranah digital yang tidak kasat mata (seperti tidak memiliki gawai, tidak memahami aplikasi, atau tidak terjangkau sinyal internet). Bentuk eksklusi digital ini secara inheren lebih berbahaya. Pertama, ia tidak terlihat secara fisik, membuatnya lebih sulit untuk diidentifikasi dan diadvokasi. Kedua, kegagalan individu untuk berpartisipasi dalam pemilu digital seringkali disalahkan pada "ketidakmampuan" atau "kemalasan" individu itu sendiri, bukan pada kegagalan sistem dalam merancang teknologi yang inklusif. Ketiga, peminggiran digital ini berisiko memperdalam jurang ketidaksetaraan ekonomi dan sosial yang sudah ada, menciptakan lingkaran setan di mana mereka yang paling terpinggirkan secara sosial-ekonomi juga menjadi yang paling terpinggirkan secara politik. Ini adalah jebakan "solusionisme teknologi"—keyakinan buta bahwa teknologi dapat menyelesaikan masalah sosial yang kompleks—yang harus dihindari dengan segala cara jika Indonesia ingin mewujudkan pemilu yang benar-benar inklusif bagi semua. Link Pembahasan lebih lengkap dapat di klik di tautan berikut: https://docs.google.com/document/d/1C5jYDSR_tyGftMb5H3uV7p3E1LkBEQeBig5gS7ZWbWs/edit?usp=sharing
Oleh : Aof Ahmad Musyafa, SH., MH #TemanPemilih, KPU Kabupaten Kuningan, Jabar, menyambut positif putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029 mendatang. Hal ini merujuk pada amar Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dikabulkan sebagian atas uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pemilu nasional yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden harus dilaksanakan secara terpisah dari pemilu daerah, yakni pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. MK pun mengatur jeda waktu antara keduanya minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional digelar. Menanggapi hal tersebut, Komisioner KPU Kuningan Aof Ahmad Musyafa yang juga menjabat sebagai Ketua Divisi SDM dan Parmas menyebut bahwa keputusan MK ini akan berdampak besar terhadap desain dan tata kelola pemilu di masa depan. "Secara garis besar, putusan ini akan mengubah peta penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak ke depan. Pemisahan antara pemilu nasional dan daerah tentu akan menjadi pembahasan serius dalam penyusunan rancangan Undang-Undang Pemilu dan Pilkada,”kata Aof saat dikonfirmasi, Minggu (29/6). Menurutnya, perubahan regulasi tersebut nantinya akan menjadi dasar bagi KPU untuk merancang tahapan dan peraturan teknis penyelenggaraan pemilu serta pilkada secara lebih terukur dan proporsional. Lebih jauh, Aof menilai keputusan MK ini sebagai langkah progresif dalam memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Ia menyoroti pengalaman Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 lalu yang dinilainya penuh tantangan, khususnya terkait beban kerja penyelenggara dan irisan tahapan yang terjadi bersamaan. "Pemilu dan Pilkada 2024 menjadi pelajaran penting. Kami di KPU merasakan betul bagaimana kompleksitas dan beban kerja yang sangat tinggi ketika semua proses pemilu dilakukan secara serentak. Dengan dipisahnya pelaksanaan pemilu ke depan, kami harap tahapan dapat berjalan lebih efektif dan tidak saling membebani,”ujarnya. KPU Kuningan, lanjut Aof, siap mengikuti dinamika regulasi baru dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas layanan penyelenggaraan pemilu bagi masyarakat. "Bagi kami, putusan ini adalah bagian dari ikhtiar untuk memperkuat demokrasi yang lebih substansial, tidak hanya prosedural,” tandasnya.*** Editor : Andri Yanto