Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dari Perspektif Islam untuk Pemilih Pemula di Kabupaten Kuningan

Oleh : Erik Hamdani, S.Sn., M.Si
Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah dari Perspektif Islam untuk Pemilih Pemula di Kabupaten Kuningan
Bagian I: Pendahuluan - Suara Pemilih Pemula, Suara untuk Masa Depan
Perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan sebuah momentum krusial yang menentukan arah masa depan suatu bangsa dan wilayah. Dalam konteks Indonesia, khususnya di Kabupaten Kuningan, peran pemilih pemula kini menjadi penentu yang tidak dapat diabaikan. Berdasarkan data demografi, pemilih muda yang berusia 17 hingga 39 tahun diperkirakan mencapai hampir 60% dari total pemilih nasional, sebuah proporsi yang signifikan. Di Kabupaten Kuningan sendiri, porsi pemilih pemula, yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, mencapai sekitar 20% dari seluruh daftar pemilih. Angka ini mengukuhkan posisi mereka sebagai segmen kunci yang memiliki potensi besar untuk membentuk masa depan politik lokal.
Pemilu, sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, memungkinkan warga negara untuk memilih pemimpin politik secara langsung, baik untuk lembaga legislatif maupun eksekutif. Namun, bagi pemilih pemula, proses ini seringkali dihadapi dengan berbagai tantangan. Riset menunjukkan bahwa pemilih pemula, yang umumnya berusia 17 hingga 21 tahun, memiliki jangkauan politik yang belum luas, sehingga membuat mereka rentan dipengaruhi oleh pendekatan materialis dan motivasi jangka pendek. Ketidakpahaman ini dapat memicu perilaku irasional dalam menentukan pilihan, bahkan hingga memilih secara acak atau berdasarkan paksaan. Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan skeptisisme dan apatis terhadap politik yang membuat mereka cenderung golput (golongan putih), karena merasa hasil pemilihan tidak akan berpengaruh pada kehidupan pribadi mereka.
Kombinasi antara kerentanan dan sikap skeptis ini menciptakan sebuah ruang kosong yang berpotensi membahayakan integritas demokrasi. Apabila pemilih pemula tidak mendapatkan edukasi yang memadai, mereka berisiko menjadi korban praktik politik yang merusak, seperti politik uang, atau secara sukarela menihilkan hak pilih mereka. Laporan ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut dengan sebuah kerangka panduan yang komprehensif, berbasis pada nilai-nilai fundamental Islam, guna membekali pemilih pemula agar dapat menggunakan hak konstitusional mereka dengan cerdas dan penuh tanggung jawab.
Bagian II: Kepemimpinan dan Pemilihan dalam Genggaman Amanah Ilahi
2.1. Kepemimpinan sebagai Amanah, Bukan Kekuasaan
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan adalah sebuah konsep yang memiliki bobot spiritual dan tanggung jawab yang sangat berat. Berbeda dengan pandangan yang menganggapnya sebagai sarana untuk meraih kekuasaan dan keuntungan pribadi, Islam memposisikan kepemimpinan sebagai sebuah amanah atau kepercayaan. Ini adalah sebuah kontrak psikologis antara seorang pemimpin dan mereka yang dipimpinnya, di mana pemimpin berjanji akan membimbing, melindungi, dan berlaku adil dengan sebaik-baiknya, Konsep ini tertuang jelas dalam Al-Qur'an dan Hadis.
Allah SWT secara tegas memerintahkan umat-Nya untuk menunaikan amanah kepada pihak yang berhak, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nisa ayat 58:
"ِإَّن َََّّللَا َيَأْمُرُُكْم َأن ُتَؤُّدوا الْأَمَاَناِت ِإَلَأْهِلَهاَوِإَذاََحكُْمُت بَيَْن الَْناِسَأن َتَكُْكُموا بالْعَْدِل ِإَّن َََّّللَا ِنِّعَّماََيِعُكُْمِظِبِهِإَّن َََّّللَاَكَن َََِسمعًا بَِصرًا"
Ayat tersebut tidak hanya menekankan pentingnya menunaikan amanah kepada yang berhak, tetapi juga menuntut penegakan keadilan dalam menetapkan hukum di antara manusia.8 Dalam konteks politik, amanah berarti seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Tanggung jawab kepemimpinan ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin formal, tetapi juga bagi setiap individu. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya,” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa setiap individu memikul amanah, mulai dari amanah terhadap diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat. Oleh karena itu, menggunakan hak pilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan perwujudan dari amanah kolektif untuk memilih pemimpin yang akan mengemban amanah yang lebih besar.
2.2. Kewajiban Memilih: Dari Tanggung Jawab Kolektif hingga Kewajiban Individu
Dalam Islam, keberadaan pemimpin dianggap sebagai suatu keniscayaan. Para ulama berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai "perisai" (junnah) yang melindungi umat, mencegah kezaliman, menegakkan hukum Allah, dan menyejahterakan rakyat.9 Tanpa kepemimpinan yang adil, bumi akan diliputi kerusakan (fasad), sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Baqarah: 251. Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan hanya hak, melainkan sebuah kewajiban.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, telah menetapkan fatwa yang memperkuat pandangan ini. Dalam Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III, disebutkan bahwa memilih pemimpin yang beriman, bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aspiratif (tabligh), dan kompeten (fathanah) hukumnya adalah wajib. Sebaliknya, sengaja tidak menggunakan hak pilih (golput) padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Fatwa ini tidak muncul tanpa alasan yang kuat. Logika di baliknya didasarkan pada prinsip menghindari kerusakan yang lebih besar (mafsadah). Sikap golput atau tidak memilih akan merugikan umat secara keseluruhan. Jika orang-orang yang peduli dan berintegritas tidak menggunakan hak pilih mereka, maka mereka secara tidak langsung membiarkan pihak lain, yang mungkin tidak kompeten atau bahkan zalim, untuk berkuasa. Kepemimpinan yang tidak adil akan membawa kerusakan yang jauh lebih masif bagi masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, fatwa ini berfungsi sebagai landasan teologis untuk mendorong partisipasi aktif umat Islam dalam politik.
Meskipun demikian, terdapat pula pandangan yang mempertanyakan fatwa ini, terutama jika kandidat yang tersedia dianggap tidak ada yang ideal. Kritik ini seringkali didasarkan pada realitas politik di mana janji-janji sering diabaikan dan pemimpin dianggap munafik. Dalam menghadapi dilema ini, Islam menawarkan prinsip Akhaf Ad-Dhararain (memilih kemudaratan yang paling ringan). Apabila semua calon memiliki kekurangan, kewajiban seorang pemilih adalah menimbang dengan cermat dan memilih kandidat yang memiliki potensi kerusakan paling kecil, atau yang memiliki visi dan program kerja paling mendekati nilai-nilai kebaikan.
Bagian III: Menilai Pemimpin Berbasis Nilai Islam & Tantangan Pemilih Pemula
3.1. Empat Pilar Utama Memilih Pemimpin: Adaptasi Sifat Kenabian
Bagi pemilih pemula, tantangan utama adalah menerjemahkan kriteria pemimpin ideal dalam Islam menjadi indikator praktis yang dapat dinilai. Panduan yang paling komprehensif dapat diturunkan dari empat sifat utama Rasulullah SAW, yaitu Siddiq (jujur dan benar), Amanah (dapat dipercaya), Tabligh (menyampaikan kebenaran), dan Fathanah (cerdas dan bijaksana). Berikut adalah cara praktis untuk menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam realitas Pilkada:
- Siddiq (Jujur): Kejujuran seorang calon dapat dinilai dari konsistensi antara ucapan dan perbuatan mereka. Pemilih dapat menelusuri rekam jejak mereka, apakah mereka pernah terjerat kasus korupsi, atau apakah janji-janji yang mereka sampaikan realistis dan bukan sekadar slogan kosong.
- Amanah (Dapat Dipercaya): Amanah adalah pondasi integritas. Seorang pemimpin yang amanah akan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompoknya. Pemilih dapat menilai amanah seorang calon dari sikapnya yang tidak terlalu ambisius terhadap jabatan. Rasulullah SAW bahkan bersabda bahwa jabatan tidak akan diberikan kepada mereka yang memintanya secara berlebihan.
- Tabligh (Komunikatif/Transparan): Sifat ini menekankan kemampuan pemimpin untuk berkomunikasi secara jujur dan transparan. Pemilih dapat menilai bagaimana calon menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya. Apakah mereka mampu menjelaskan ide-ide mereka dengan jelas, ataukah hanya menggunakan retorika manipulatif? Musyawarah (syura) juga merupakan bagian dari tabligh, menunjukkan kesediaan calon untuk mendengarkan masukan dari masyarakat.
- Fathanah (Cerdas/Kompeten): Kecerdasan dan kompetensi seorang calon dapat dinilai dari kejelasan visi, misi, dan program kerja yang mereka tawarkan. Pemilih cerdas akan mencari tahu apakah program-program tersebut menawarkan solusi konkret dan terukur untuk permasalahan yang ada di Kabupaten Kuningan, bukan sekadar janji-janji tanpa dasar.
Tabel berikut menyajikan matriks penilaian yang dapat digunakan oleh pemilih pemula:
Tabel 1: Matriks Penilaian Pemimpin: Dari Sifat Kenabian ke Realitas Politik
|
Sifat Kenabian |
Konsep Islam yang Relevan |
Indikator Praktis |
Cara Menilai (untuk Pemilih Pemula) |
|
Siddiq |
Kejujuran, Kebenaran |
Rekam jejak yang bersih, konsistensi ucapan dan tindakan, janji yang realistis. |
Cari berita kredibel tentang riwayat calon. Perhatikan apakah janji-janji mereka sesuai dengan fakta di lapangan. |
|
Amanah |
Kepercayaan, Tanggung Jawab |
Integritas pribadi, komitmen pada kepentingan publik, tidak ambisius. |
Amati sikap calon, apakah mereka terlalu mengejar kekuasaan. Lihat apakah mereka pernah terjerat kasus korupsi. |
|
Tabligh |
Transparansi, Komunikatif |
Visi-misi yang jelas, kemampuan berdialog, kesediaan bermusyawarah. |
Tonton video kampanye dan debat. Apakah mereka menjawab pertanyaan dengan lugas dan transparan? |
|
Fathanah |
Kecerdasan, Kompetensi |
Program kerja yang solutif, rasional, dan terukur. |
Bandingkan program kerja setiap calon. Apakah program mereka benar-benar menjawab masalah di Kuningan? |
3.2. Menolak Godaan: Politik Uang dan Golput
Pemilih pemula sangat rentan terhadap godaan politik uang (money politics), sebuah praktik yang merusak dan dilarang keras dalam Islam. Para ulama secara tegas menyatakan bahwa praktik politik uang adalah haram, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kejujuran, amanah, dan keadilan.
Dampak dari politik uang adalah sebuah rantai kerusakan yang dimulai dari tingkat individu. Apabila pemilih menerima uang atau hadiah, mereka telah mengkhianati amanah yang diberikan kepada mereka. Praktik ini merusak integritas Pemilu, menghasilkan pemimpin yang tidak terpilih berdasarkan kompetensi, melainkan karena kemampuan finansialnya. Pemimpin yang berkuasa melalui jalan tidak halal cenderung akan menyalahgunakan kekuasaan untuk mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, yang pada akhirnya akan merugikan seluruh rakyat. Tindakan korupsi dan kezaliman yang diakibatkan oleh politik uang jauh lebih besar daripada nilai uang yang diterima oleh pemilih.
Selain politik uang, fenomena golput juga menjadi tantangan serius. Meskipun undang-undang memberikan kebebasan bagi rakyat untuk tidak memilih, dalam perspektif Islam, golput adalah tindakan yang diharamkan selama masih ada calon yang layak. Sikap apatis dan tidak peduli terhadap urusan politik, yang seringkali menjadi alasan golput, dianggap sebagai sebuah kemudaratan. Dengan tidak memilih, pemilih secara tidak langsung melepaskan kendali atas masa depan mereka sendiri dan menyerahkannya kepada orang lain.
Bagian IV: Langkah Nyata di Kabupaten Kuningan: Menggerakkan Pemilih Pemula
4.1. Peran Sentral KPU Kuningan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kuningan memiliki peran vital tidak hanya sebagai penyelenggara teknis Pemilu, tetapi juga sebagai agen pendidikan politik. Upaya yang telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada pelajar SMA/SMK dan mahasiswa di Universitas Islam Al-Ihya (UNISA) Kuningan, adalah langkah-langkah konkret dalam meningkatkan literasi demokrasi.
Dalam konteks pandangan Islam, upaya KPU untuk mengedukasi masyarakat, mendorong partisipasi, dan menciptakan pemilih yang cerdas dapat dipandang sebagai bentuk amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). KPU tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai lembaga negara, tetapi juga secara tidak langsung sedang menunaikan fungsi tabligh (menyampaikan kebenaran) dengan mengajak masyarakat untuk memilih pemimpin yang adil dan berintegritas.
4.2. Panduan Praktis untuk Pemilih Cerdas
Untuk menunaikan amanah dengan baik, pemilih pemula di Kabupaten Kuningan dapat mengikuti panduan praktis berikut:
- Pahami Amanah Diri: Sadari bahwa hak pilih adalah amanah dari Allah SWT. Ini bukan sekadar hak sipil, tetapi juga tanggung jawab spiritual yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat.
- Kenali Isu Lokal: Pelajari permasalahan yang dihadapi oleh Kabupaten Kuningan. Apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat? Pahami masalah-masalah ini untuk dapat menilai calon yang menawarkan program paling solutif.
- Lakukan Riset Kredibel: Jangan hanya mengandalkan informasi dari media sosial atau sebaran kampanye. Gunakan internet secara bijak untuk mencari rekam jejak, visi, dan misi calon dari sumber-sumber yang kredibel. Pahami isi dari program kerja mereka, bukan hanya popularitasnya.
- Tolak Politik Uang: Sadari bahwa menerima uang atau hadiah dari calon adalah tindakan haram yang merusak. Tolaklah dengan tegas karena dampak jangka panjangnya akan jauh lebih besar dan merugikan seluruh masyarakat.
- Gunakan Hak Pilih dengan Cerdas: Pada hari pencoblosan, datanglah ke TPS dengan niat menunaikan amanah. Gunakan hak pilih berdasarkan pertimbangan yang matang, akal sehat, dan hati nurani yang sesuai dengan kriteria pemimpin ideal dalam Islam.
Penutup: Pemilu adalah Ibadah, Memilih adalah Pilihan Mulia
Laporan ini menyimpulkan bahwa Pemilu, dari perspektif Islam, bukanlah sekadar ritual politik, melainkan sebuah manifestasi dari amanah kolektif yang diemban oleh seluruh rakyat. Pemilih pemula, dengan jumlah yang masif dan peran strategisnya, memiliki tanggung jawab besar untuk tidak menyia-nyiakan hak pilih mereka. Golput dan politik uang adalah tindakan yang secara teologis dilarang karena berpotensi mendatangkan kerusakan yang lebih besar.
Dengan memilih pemimpin yang memiliki sifat-sifat utama seperti siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah, pemilih pemula tidak hanya berpartisipasi dalam proses demokrasi, tetapi juga menunaikan sebuah ibadah. Memilih pemimpin yang adil, kompeten, dan berintegritas adalah cara untuk berkontribusi secara nyata dalam membangun masyarakat yang lebih baik, sebagaimana yang diperintahkan oleh ajaran Islam. Pilihan yang bijaksana adalah investasi untuk masa depan Kuningan yang makmur dan adil.
Mari jadikan hari pemilihan sebagai momentum untuk menunaikan amanah terbesar di hadapan Allah SWT. Pilihan Anda adalah pertanggungjawaban Anda. Gunakanlah dengan penuh kesadaran dan keimanan.